skip to main
|
skip to sidebar
Kebiasaan Menjamu Tamu menjadi berkah bagi penduduk di Tanah Suci.
Mempererat Persaudaraan
Setelah puluhan tahun menjalani puasa di negeri sendiri,
Indonesia, maka saya juga ingin merasakan bagaimana suasana puasa yang dialami
Rasulullah SAW di negerinya sendiri. Untuk itu saya berusaha menjalani Umrah
pada awal Ramadhan 2015M / 1436H di Mekah. Tarawih pertama saya masih berada di
Madinah, di dalam Masjid Nabawi, tetapi Buka pertama Alhamdulillah sudah berada
di Mekah.
Jika ada yang merasa berat untuk berpuasa di negeri kita sendiri,
maka itu belum seberapa dibandingkan dengan puasa orang di tanah Arab. Lebih
berat karena waktunya lebih panjang dibandingkan di Indonesia, serta suhu yang
mencapai lebih dari 50 derajat Celcius. Suhu yang panas membuat tumit pecah
pecah dan ada juga pembuluh darah di tumit yang pecah sehingga tumit terasa
nyeri. Anehnya saat melaksanakan 3 kali umrah dengan Miqat yang berbeda nyeri
itu tidak terasa. Setelah selesai Umrah, nyerinya kembali melanda. Itulah
keajaiban Ibadah.
Hal yang menarik di Madinah, di dalam masjid Nabawi adalah
pada puasa senin kamis di dalam Masjid banyak dibentangkan plastik putih /
bening yang diatasnya berisi tumpukan makanan berbuka puasa. Walaupun saat itu
saya tidak berpuasa sunah karena tidak terlalu memperdulikan hari yang berlalu,
tapi tetap ditarik untuk ikut berbuka bersama. Dan ternyata hidangan masih
banyak tersisa sehingga sesudah shalat Magrib, sisanya kembali digelar untuk
dimakan.
Yang menjadi hidangan pada saat itu adalah Kurma, Roti yang
awalnya berdiamater sekitar 25 cm kemudian dipotong kecil kecil berukuran 5X10
cm serta jamu Arab yang awalnya saya kira adalah kopi serta air zam zam yang
melimpah ruah walaupun sudah dikeluarkan jutaan gallon.
Hal yang aneh menurut saya adalah jika kita memakan hanya
sebahagian kecil roti, mungkin karena sudah kenyang atau kurang terbiasa dengan
rasanya lalu kita tinggalkan, maka potongan tadi tidak akan dibiarkan sia sia.
Ada saja orang yang mau memakannya. Mereka tidak merasa jijik dengan makanan
sisa. Begitu besarnya rasa persaudaraan disana.
Saat masuk ke sebuah tokopun saya disuguhi gelas berisi
minuman yang tinggal sedikit, kurang dari 1/4 gelas untuk diminum. tapi karena
saya tidak terbiasa minum sisa orang maka saya menolak dengan mengisyaratkan
bahwa saya sudah kenyang. Karena tidak mau, maka ia mengisyarakan saya untuk
menyerahkan sisa minuman tadi ke seseorang yang duduk diluar toko, dan orang
itu meminumnya. Jadi mereka memang tidak memiliki rasa jijik pada minuman sisa.
Di Mekah saya melaksanakan Tawaf pertama pada puasa pertama
setelah Shalat Ashar, sesampainya rombongan kami di Mekah. Alhamdulillah semua
rukun Umrah bisa selesai saat azan Magrib dikumandangkan untuk menandakan waktu
berbuka pertama di bulan Ramadhan. Suasana seperti di Madinah berulang lagi di
Mekah.
Banyak orang yang berdiri disaat orang sedang melaksanakan
sa'i untuk menyerahkan buah kurma untuk dimakan saat berbuka nanti. Ini juga
membuat orang yang sedang sa'i sebagian ada yang berebutan kurma yang tentu
saja sedikit mengurangi kekhusukan ibadah sa'i yang sedang dijalankan. Saat
azanpun masih banyak orang yang menghantarkan kurma dan minuman semacam jamu
yang tidak saya sentuh karena sudah mengetahui rasanya saat di Madinah. Bahkan
ada yang mencoba untuk sembunyi agar tidak diberi makanan, tetap mendapat
makanan yang berlimpah, sehingga bisa dibawa pulang tidak hanya ke hotel tapi
juga ke Indonesia.
Pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian yang dialami,
baik di Madinah maupun Mekah itu? Jika dilihat sejarah tentang Kakek Nabi yang
merupakan penjaga Kabah sebelum Nabi Muhammad SAW menyebarkan Islam adalah
penjamu orang orang yang berkunjung ke Kabah, maka kebiasaan itu juga
diturunkan pada pewarisnya.
Inilah yang mungkin menyebabkan Mekah dan Medinah ramai
dikunjungi oleh Muslim dari seluruh penjuru dunia. Allah SWT memberkahi negeri
ini karena penduduknya baik pada tamu. Menganggap tamu adalah saudara sehingga
tidak ada rasa jijik dengan makanan sisa.
Mungkin ini salah satu tegoran atau contoh dari Allah SWT
pada saya agar lebih banyak memberi pada orang lain karena pemberian itu tidak
akan sia sia. Allah SWT pasti membalasnya dengan berlipat ganda.
Hal kedua yang dapat dipelajari adalah kita juga perlu
meningkatkan persaudaraan Muslim. Walaupun bagi kita masih sulit untuk
membiasakan memakan sisa makanan orang lain yang tidak kita kenal. Bisa jadi
karena sudah berlangsung lama dan sudah menjadi kebiasaan penduduknya, maka
Allah SWT hilangkan kemungkinan akan penyakit menular karena memakan atau
meminum sisa orang lain. Mungkin ini belum bisa kita lakukan karena banyak juga
kejahatan dilakukan lewat makanan atau minuman di negeri kita, Indonesia ini.
Kesimpulan terakhir yang bisa kita tarik adalah jangan
pernah menyisakan makanan. Ambillah makanan sebanyak yang akan sanggup untuk
dihabiskan. Enak maupun tidak. Karena menyisakan makanan sama saja dengan
mubazir sedangkan orang mubazir adalah teman setan. Lakukan ini dimana saja. Di
rumah makan, di pesta, apalagi di rumah sendiri. Jangan pernah tersisa walau
hanya sebutir nasi.
Hal menarik sehubungan dengan makanan ini pernah saya lihat
pada sebuah acara TV, dimana sekelompok non Muslim, sesudah makan maka tempat
makan dicuci dengan air minum lalu air cucian piring itu diminum yang membuat
piring jadi bersih dan hemat air karena piring tidak perlu dicuci lagi dengan
air yang lain.
Kita tidak perlu seekstrim itu. Usahakan jangan membiarkan
ada makanan sisa walaupun hanya sebutir. Ajarkan hal ini pada keluarga kita.
Mudah mudahan keberkahan diturunkan Allah SWT pada negeri kita yang kaya raya
ini. Amin Ya Rabbal 'Alamin.
No comments:
Post a Comment